Beberapa Permasalahan Remaja
Oleh : Lilly H. Setiono
Selasa, 13 Agustus 2002
Bagi
sebagian besar orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah
melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam
hidup mereka. Kenangan terhadap saat remaja merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu. Sementara banyak orangtua yang memiliki anak
berusia remaja merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit.
Banyak konflik yang dihadapi oleh orangtua dan remaja itu sendiri. Banyak
orangtua yang tetap menganggap anak remaja mereka masih perlu
dilindungi dengan ketat sebab di mata orangtua para anak remaja mereka
masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang dewasa. Sebaliknya,
bagi para remaja, tuntutan internal membawa mereka pada keinginan untuk
mencari jatidiri yang mandiri dari pengaruh orangtua. Keduanya memiliki kesamaan yang jelas: remaja adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa.
Sebetulnya, apa yang terjadi sehingga remaja merupakan memiliki dunia tersendiri. Mengapa para remaja seringkali merasa tidak dimengerti dan tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya? Mengapa remaja seolah-olah memiliki masalah unik dan tidak mudah dipahami?
Masa Remaja
Masa
remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya
usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang
dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid
sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia
pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini
terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang
anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami
pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan
sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia
nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak
lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat
diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam
perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang
diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut
untuk bersikap mandiri dan dewasa.
Memang
banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun
seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan
bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun
satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks
seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri
mereka. Untuk dapat memhami remaja, maka perlu dilihat berdasarkan
perubahan pada dimensi-dimensi tersebut.
Dimensi Biologis
Pada
saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan
menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada
remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi.
Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone. Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja.
Dimensi Kognitif
Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan
berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan
mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta
kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para
remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan
memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka
sendiri. Mereka juga mampu
mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk
ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa
depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu
mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia)
masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu
sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini.
Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu
operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat
sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini
bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia
yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar satu arah
(ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak.
penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang
cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak
tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai
dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu
mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah
menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis
masalah dan mencari solusi terbaik.
Dimensi Moral
Masa
remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai
berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar
bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot
Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian
tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan
dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja
tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut
yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja
mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan
lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak
melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang
selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya "kenyataan" lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya
dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia
terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa
kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning)
pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan
dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan
kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan "kenyataan" yang baru. Perubahan
inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap
peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya,
jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang
mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan
mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh
subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu
kondisi tertentu. Hal ini tentu
saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai
dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar,
jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan
remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh
orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika
orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis,
apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai
tersebut.
Peranan
orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif
jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua
yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif
supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika "lingkungan baru" memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam. (Baca juga artikel: Perkembangan Moral)
Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood
(suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di
Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan
bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood "senang luar biasa" ke "sedih luar biasa", sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing)
yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban
pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah.
Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka
sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap
bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti
mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image).
Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan
percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Remaja
putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya
orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra
akan membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik
dan ?%u20AC%u0153hebat?%u20AC?. Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata. Pada
saat itu, Remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki
dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun
dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh
orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada
saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk
menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
Para
remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga
seringkali mereka terlihat "tidak memikirkan akibat" dari perbuatan
mereka. Tindakan impulsif sering
dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan belum biasa
memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang. Remaja
yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan mereka,
akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih
percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati-diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan
orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan
bagaimana menghadapi masalah itu sebagai "seseorang yang baru"; berbagai
nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para "idola"nya untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja. (Baca juga artikel: Remaja & Tokoh Idola)
Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness) mereka sudah mulai berkembang dan mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa "ia bisa berbeda" dengan orangtuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada banyak pilihan. Karenanya,
tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin selalu
mencoba - baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. Contoh:
anak seorang insinyur bisa saja ingin menjadi seorang dokter karena
tidak mau melanjutkan atau mengikuti jejak ayahnya. Ia akan mencari
idola seorang dokter yang sukses dan berusaha menyerupainya dalam
tingkahlaku. Bila ia merasakan peran itu tidak sesuai, remaja akan
dengan cepat mengganti peran lain yang dirasakannya "akan lebih sesuai". Begitu seterusnya sampai ia menemukan peran yang ia rasakan "sangat pas" dengan dirinya. Proses "mencoba peran" ini merupakan proses pembentukan jati-diri yang sehat dan juga sangat normal. Tujuannya sangat sederhana; ia ingin menemukan jati-diri atau identitasnya sendiri. Ia tidak mau hanya menurut begitu saja keingingan orangtuanya tanpa pemikiran yang lebih jauh.
Banyak orangtua khawatir jika "percobaan peran" ini menjadi berbahaya. Kekhawatiran itu memang memiliki dasar yang kuat. Dalam
proses "percobaan peran" biasanya orangtua tidak dilibatkan, kebanyakan
karena remaja takut jika orangtua mereka tidak menyetujui, tidak
menyenangi, atau malah menjadi sangat kuatir. Sebaliknya,
orangtua menjadi kehilangan pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi
memiliki kontrol terhadap anak remaja mereka. Pada saat inilah, kehilangan komunikasi antara remaja dan orangtuanya mulai terlihat. Orangtua dan remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda sehingga salah paham sangat mungkin terjadi.
Salah
satu upaya lain para remaja untuk mengetahui diri mereka sendiri adalah
melalui test-test psikologis, atau yang di kenal sebagai tes minat dan
bakat. Test ini menyangkut tes kepribadian, tes intelegensi, dan tes minat. Psikolog umumnya dilatih untuk menggunakan alat tes itu. Alat
tes yang saat ini umum diberikan oleh psikolog di Indonesia adalah
WISC, TAT, MMPI, Stanford-Binet, MBTI, dan lain-lain. Alat-alat tes juga
beredar luas dan dapat ditemukan di toko buku atau melalui internet;
misalnya tes kepribadian.
Walau terlihat sederhana, dampak dari hasil test tersebut akan sangat luas. Alat
test psikologi dapat diibaratkan sebuah pisau lipat yang terlihat
sekilas tidak berbahaya; namun di tangan orang yang "bukan ahlinya" atau
yang kurang bertanggung-jawab, alat ini akan menjadi sangat berbahaya. Alat
test jika diinterpretasikan secara salah atau tidak secara menyeluruh
oleh orang yang tidak berpengalaman atau tidak memiliki dasar ilmu yang
cukup untuk mengartikan secara obyektif akan membuat kebingungan dan
malah membawa efek negatif. Akibatnya, para remaja akan merasa lebih bingung dan lebih tidak merasa yakin akan hasil tes tersebut. Oleh
karena itu sangatlah dianjurkan untuk mencari psikolog yang memang
sudah terbiasa memberikan test psikologi dan memiliki Surat Rekomendasi
Ijin Praktek (SRIP), sehingga dapat menjamin obyektivitas test tersebut.
Satu
hal yang perlu diingat adalah hasil test psikologi untuk remaja
sebaiknya tidak ditelah mentah-mentah atau dijadikan patokan yang baku
mengingta bahwa masa remaja meruipakan masa yang snagat erat dengan
perubahan. Alat test ini tidak semestinya dijadikan buku primbon atau
acuan kaku dalam penentuan langkah untuk masa depan, misalnya dalam
mencari sekolah atau mencari karir yang cocok. Seringkali, seiring
dengan perkembangan remaja dan perubahan lingkungan sekitarnya, konklusi
yang diterima dari hasil test bisa berubah dan menjadi tidak relevan
lagi. Hal ini wajar mengingat bahwa minat seorang remaja sangat labil dan mudah berubah.
Sehubungan dengan explorasi diri melalui internet atau media massa
yang lain, remaja hendaknya berhati-hati dalam menginterpretasikan
hasil-hasil yang di dapat dari test-test psikologi online melalui
internet. Harap diingat bahwa banyak diantara test tersebut masih
sebatas ujicoba dan belum dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Selain itu dibutuhkan kejujuran untuk mampu menerima diri apa adanya
sehingga remaja tidak mengembangkan identitas "virtual" yang berbeda
dengan diri yang asli. (baca juga artikel: Explorasi Diri Melalui Internet)
Selain
beberapa dimensi yang telah disebutkan diatas, masih ada
dimensi-dimensi yang lain dalam kehidupan remaja yang belum sempat
dibahas dalam artikel ini. Salah satu dari dimensi tersebut diantaranya
adalah dimensi sosial.
Tip untuk Orangtua
Dalam kebudayaan timur, masih banyak orangtua yang menganggap anak adalah milik orangtua, padahal seperti yang dituliskan oleh Khalil Gibran: Anak Hanya Titipan Sang Pencipta. Ia
bukan kepanjangan tangan orangtua. Ia berhak memiliki kehidupannya
sendiri, menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Tentu saja peran
orangtua sangat besar sebagai pembimbing. Dalam usia remaja, kemampuan penentuan diri inilah yang semestinya dilatih. Remaja
seperti juga semua manusia lainnya - belajar dari kesalahan. Bagi para
orangtua ada baiknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
-
Mulailah menganggap anak remaja sebagai teman dan akuilah ia sebagai orang yang akan berangkat dewasa. Seringkali orangtua tetap memperlakukan anak remaja mereka seperti anak kecil, meskipun mereka sudah berusaha menunjukkan bahwa keberadaan mereka sebagai calon orang dewasa.
-
Hargai perbedaan pendapat dan ajaklah berdiskusi secara terbuka. Nasihat yang berbentuk teguran atau yang berkesan menggurui akan tidak seefektif forum diskusi terbuka. Tidak ada yang lebih dihargai oleh para remaja selain sosok orangtua bijak yang bisa dijadikan teman.
-
Tetaplah tegas pada nilai yang anda anut walaupun anak remaja anda mungkin memiliki pendapat dan nilai yang berbeda. Biarkan nilai anda menjadi jangkar yang kokoh di mana anak remaja anda bisa berpegang kembali setelah mereka lelah membedakan dan mempertanyakan alternatif nilai yang lain. Larangan yang kaku mungkin malah akan menyebabkan sikap pemberontakan dalam diri anak anda.
-
Jangan malu atau takut berbagi masa remaja anda sendiri. Biarkan mereka mendengar dan belajar apa yang mendasari perkembangan diri anda dari pengalaman anda. Pada dasarnya, tidak ada anak remaja yang ingin kehilangan orangtuanya.
-
Mengertilah bahwa masa remaja untuk anak anda adalah masa yang sulit. Perubahan mood sering terjadi dalam durasi waktu yang pendek, jadi anda tidak perlu panik jika anak remaja anda yang biasanya riang tiba-tiba bisa murung dan menangis lalu tak lama kemudian kembali riang tanpa sebab yang jelas.
-
Jangan terkejut jika anak anda bereksperimen dengan banyak hal, misalnya mencat rambutnya menjadi biru atau ungu, memakai pakaian serba sobek, atau tiba-tiba ber bungee-jumping ria. Selama hal-hal itu tidak membahayakan, mereka layak mencoba masuk ke dalam dunia yang berbeda dengan dunia mereka saat ini. Berikanlah ruang pada mereka untuk mencoba berbagai peran yang cocok bagi masa depan mereka. Ada remaja yang menurut tanpa membantah keinginan orangtua mereka dalam menentukan peran mereka, misalnya jika kakek sudah dokter, ayah dokter, kelak iapun "diharapkan dan disiapkan" untuk menjadi dokter pula. Namun ada juga anak remaja yang memang tidak ingin masuk ke dalam dunia yang sama dengan orangtua mereka. Dalam hal ini janganlah memaksakan anak mengikuti kehendak orangtua. Seperti Kahlil Gibran... anak hanya titipan, ia milik masa depan dan kita milik masa lalu.
-
Kenali teman-teman anak remaja anda. Bertemanlah dengan mereka jika itu memungkinkan. Namun waspadalah jika anak anda sangat tertutup dengan dunia remajanya. Mungkin ia tidak/ kurang mempercayai anda atau ada yang disembunyikannya.
Selamat mencoba dan semoga bermanfaat.
sumber :
http://www.e-psikologi.com/artikel/individual/beberapa-permasalahan-remaja